Mataku tidak kunjung terpejam. Masih terdengar suara ribut-ribut di luar. Tiba-tiba pintu dibuka dengan kasar dan Ibu masuk ke dalam. Kulihat dia membuka lemari, mengambil sesuatu di situ, lalu pergi ke luar. Tidak lama kemudian terdengar suara sepeda motor pergi menjauh dan Ibu kembali masuk ke kamar. Aku pura-pura memejamkan mata dan kudengar Ibu terisak di sudut ruangan. Entah berapa kali aku sudah melihat kejadian seperti ini tapi aku selalu pura-pura tak tahu. Aku tidak pernah membicarakannya dengan Ibu. Aku tidak ingin Ibu terluka atau malu.
Sumber gambar: picxabay.com
“Nanti tolong belikan sabun dan minyak sekalian, ya.” Ibu memberiku dua lembar uang sepuluh ribuan.
Sepulang sekolah aku mampir ke toserba dekat sekolah untuk membeli barang yang dipesan Ibu karena harganya lebih murah. Ibu tidak sempat membelinya karena harus membanting tulang sejak pagi. Jam tiga pagi Ibu sudah bangun dan memasak masakan untuk dijual di pinggir jalan di depan gang, tidak jauh dari kamar kami. Aku sebut ‘kamar’ karena kami menyewa kamar di sebuah kos-kosan untuk keluarga. Ibu mulai berjualan jam lima pagi dan tutup setelah semua makanan habis. Siangnya dia beristirahat sebentar lalu sorenya harus ke pasar untuk membeli sayuran. Malamnya dia harus memotongi sayuran dan mempersiapkannya untuk dimasak pagi harinya. Waktu Ibu habis hanya untuk pekerjaannya.
Aku tinggal bersama Ibu, kakak perempuanku, dan kedua adik laki-lakiku di kamar berukuran empat kali lima meter. Kami hanya punya satu lemari baju dan dua kasur yang diletakkan di lantai. Tidak ada kursi ataupun tikar. Kalau ada tamu, kami akan mengangkat kasur itu dan menyandarkannya di tembok.
“Hhhh, masih dipakai, padahal aku udah telat,” gerutu kakakku kesal, masuk ke kamar. Dia melemparkan handuk yang ada di tangannya ke atas kasur.
Kami harus mengantre kamar mandi karena hanya ada dua kamar mandi untuk semua penghuni kos ini. Ada sepuluh kamar, dan masing-masing kamar dihuni dua sampai enam orang. Kadang aku harus mandi setengah lima pagi supaya terhindar dari antrean panjang meski sekolahku baru mulai jam tujuh. Kakakku sering terlambat bangun padahal harus sampai di pabrik jam delapan kalau dia dapat shift pagi.
“Aku berangkat dulu, ya, Mbak,” kataku menaruh piring yang baru kucuci lalu bersiap ke luar menuntun sepedaku.
Aku ke sekolah sambil memboncengkan dua adikku yang masih SD dan TK.
“Faris, minggu depan terakhir, ya,” kata Pak Budi, wali kelasku, mendekatiku.
Aku menunduk.
“Maaf, Pak. Saya tidak ikut,” sahutku lirih.
Minggu depan adalah hari terakhir pendaftaran study tour ke Bali, tapi aku tidak ada uang untuk membayar biayanya. Sebenarnya sudah setahun aku menabung, tapi terjadilah suatu peristiwa yang membuat tabunganku ludes. Malam itu Bapak datang meminta uang kepada Ibu. Ibu tidak bisa memberinya uang karena sudah seminggu libur jualan. Bapak marah-marah dan itu didengar oleh penghuni kos yang lain. Jadi, terpaksa aku merelakan uangku supaya keributan tidak terjadi lebih lanjut. Ibu berjanji akan mengganti uang itu, tapi sampai sekarang tidak ada kabarnya.
“Kalau ada kesulitan keuangan, nanti bapak-ibu guru bisa bantu.” Pak Budi duduk di sebelahku.
“Tidak, Pak. Saya tidak ikut saja.”
Mungkin mereka bisa membantu, tapi selama di Bali aku juga butuh uang saku. Aku tidak yakin Ibu bisa memberikannya. Akhir-akhir ini hujan dan jualannya banyak tersisa.
“Coba kamu pikirkan dulu,” kata Pak Budi sebelum meninggalkanku.
Aku ingin sekali bisa pergi dengan teman-teman. Waktu SMP aku tidak bisa ikut study tour karena tidak punya uang. Kalau sekarang tidak ikut, aku tidak akan pernah punya kesempatan itu lagi. Aku tahu Pak Budi sangat baik, tapi aku tidak ingin merepotkannya.
Ketika pulang ke rumah, kulihat ada keributan. Ibu sedang dimaki-maki oleh seorang perempuan muda. Begitu melihatku, kemarahan perempuan itu beralih ke arahku.
“Kamu, udah gedhe, malas-malasan di rumah. Kerja dong!” serunya ketus.
Setelah puas marah-marah, dia pergi dengan sepeda motor yang platnya masih berwarna putih. Aku menghampiri Ibu yang masih menangis. Ibu mengusap air matanya lalu mulai menyalakan kompor di luar pintu kamar kami. Kulihat adonan peyeknya masih setengah.
Perempuan tadi kakak tiriku, anak Bapak dari istri pertamanya. Bapak masih tinggal dengan istri pertama dan ketiga anaknya. Bapak tidak bekerja dan sering main judi sabung ayam. Istri pertamanya berjualan di pasar. Anak-anaknya sudah kuliah dan menikah. Bapak sering minta uang kepada Ibu untuk berjudi atau diberikan kepada anak-anaknya.
Beberapa kali kakak tiriku datang sambil marah-marah dan menuduh Ibu memengaruhi Bapak sehingga Bapak tidak lagi memberi uang anak-anaknya. Aku tidak pernah bisa membela Ibu karena Ibu melarangku bersikap tidak sopan kepada kakak-kakak tiriku. Ibuku bertahan dalam kehidupan seperti ini demi anak-anaknya. Dulu dia mau dengan Bapak karena terbuai oleh janji-janji palsu Bapak. Ibu selalu merasa bersalah telah merebut suami orang sehingga tidak pernah menjawab sepatah kata pun saat anak-anak Bapak datang untuk memaki-makinya. Ibu tidak pernah tahu aku sering menangis di kamar mandi setiap kali mengingatnya.
“Faris, apa kamu mau bantu Bapak mengetik soal-soal latihan?” Pak Budi memanggilku saat istirahat siang.
“Tapi saya tidak punya komputer, Pak.”
“Kamu bisa datang ke rumah Bapak setiap sore. Paling seminggu. Ada komputer di rumah.”
Aku setuju dengan tawaran itu karena Pak Budi memang sangat sibuk dan butuh bantuan. Rumahnya besar dan penuh dengan pohon bougenville. Pak Budi tinggal dengan istri dan anak laki-lakinya yang masih SD. Aku kadang iri dengan keakraban hubungan mereka. Pak Budi sangat menyayangi dan memerhatikan anaknya. Aku tidak pernah punya hubungan seperti itu dengan bapakku.
Orang-orang sering bergunjing tentang orang tuaku. Mereka mengatakan bahwa bapakku pengangguran tak tahu diri. Mereka juga mengatakan ibuku begitu bodoh mau jadi istri kedua tapi hidup miskin. Harusnya istri kedua jauh lebih makmur. Cacian demi cacian selalu kudengar setiap hari. Kadang kakakku tidak terima dan dia membalas cacian mereka dengan kata-kata yang lebih kasar lagi. Akibatnya dia punya hubungan yang kurang baik dengan para tetanggaku yang suka bergosip. Kakakku juga jarang di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Terakhir kali kudengar dia berpacaran dengan teman sesama buruh pabrik.
Kedua adikku sering main di luar dengan tetangga karena Ibu jarang di rumah. Kadang pulang dengan menangis karena dinakali anak-anak yang lain. Kadang aku harus menyuruh mereka pulang untuk mandi.
Baca juga terbaik puisi
Di hari terakhir pendaftaran study tour Pak Budi memanggilku. Aku sangat gugup datang ke kantor guru. Dia menyuruhku duduk di kursi merah yang ada di hadapannya. Tidak lama kemudian, dia meletakkan sebuah amplop di atas meja.
“Bapak dan guru yang lain sepakat akan membayar biaya study tour-mu karena kamu selalu ranking di kelas. Dan ini untuk hasil kerja kerasmu membantu Bapak mengetik soal-soal latihan,” dia mengulurkan amplop itu kepadaku.
Rasanya tak percaya mendengarnya. Akhirnya aku bisa ikut study tour juga. Ini seperti mimpi. Aku bisa pergi dengan hasil kerja kerasku dan tidak merepotkan Ibu.
“Terima kasih banyak, Pak.” Aku menangis terharu.
***
Yogyakarta, 11 November 2021
Biodata Penulis
Kimberly Harjawinata lahir dan dibesarkan di Yogyakarta. Dia suka membaca, menulis, dan traveling. Dia suka mengamati bahasa, masyarakat, dan budaya berbagai negara dan suku bangsa. Beberapa karyanya diterbitkan dalam antologi puisi, cerpen, dan artikel lainnya.
Silahkan follow Instagram @kimberly.harjawinata dan Facebook: Kimberly Harjawinata.